Bumi Mengadu, Alam Menegur

Senin, 08 Desember 2025

Iswadi M. Yazid (Foto:Istimewa).

PelalawanPos- Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan lagi sekadar fenomena alam musiman. Ia adalah cermin, peringatan, sekaligus teguran bahwa manusia telah lalai menjaga amanah terbesar: bumi. Kerusakan hutan, gambut yang dikeringkan, sungai yang dipersempit, dan pembangunan tanpa etika ekologis menjadi bukti bahwa hubungan manusia dengan alam sedang pincang.

Dalam perspektif Islam, banjir tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari sunnatullah hukum alam yang berjalan sebagaimana mestinya ketika keseimbangan dirusak. Al-Qur’an telah mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41). Ketika hutan ditebang sembarangan dan gambut kehilangan fungsinya sebagai penyimpan air, maka hujan yang turun bukan lagi rahmat, tetapi bencana.

Banjir hari ini adalah pesan spiritual bahwa amanah telah dilalaikan. Ia mengajak kita menundukkan kepala, melihat ke dalam diri, dan bertanya: sudahkah kita menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardh? Ataukah kita justru ikut merusak bumi demi kepentingan sesaat?

Inilah saatnya melakukan taubat lingkungan, bukan hanya menyesal, tetapi berubah. Mulai dari individu yang tidak membuang sampah sembarangan, komunitas dan masjid yang menguatkan edukasi lingkungan, hingga pemerintah yang menegakkan hukum dan menghentikan eksploitasi yang merusak ekosistem.

Banjir bukan sekadar air yang meluap. Ia adalah alarm moral. Ia mengingatkan bahwa bumi yang terluka akan kembali “bersuara”. Dan selama kita belum memperbaiki pola hidup serta kebijakan, teguran itu akan terus datang, mungkin lebih keras.

Semoga bencana ini menjadi titik balik kesadaran kita: bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar kewajiban ekologis, tetapi ibadah yang menentukan keberkahan hidup. Bumi tidak meminta banyak hanya ingin dijaga sebagaimana Allah memerintahkannya.**

Penulis: Iswadi M. Yazid Lc.