OPINI (PelalawanPos.co)-Belakangan rencana kebijakan pemerintah kembali menjadi sorotan dan menimbulkan kontroversi di masyarakat lantaran akan mengenakan pajak pertambahan niai (PPN) terhadap jasa pendidikan.
Rencana kebijakan ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang diajukan Pemerintah untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jasa pendidikan yang semula menjadi salah satu bidang jasa yang bebas PPN di samping enam jasa lainnya, dihapuskan dari ketentuan Pasal 4A RUU KUP. Pengenaan PPN terhadap jasa pendidikan barang kali akan meningkatkan penerimaan pajak dalam rangka menopang pendapatan negara.
Namun di balik itu, ada ancaman yang cukup serius berupa biaya pendidikan akan semakin meningkat yang dapat mengakibatkan sulitnya akses untuk mendapatkan pendidikan bagi mereka yang secara ekonomi berada di bawah rata-rata, sehingga barang tentu akan menceerai keadilan dan mereduksi jaminan perlindungan dan pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga negara.
Padahal, pendidikan merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang wajib dijamin oleh negara sebagaimana telah secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,"
Indikator Pemenuhan Hak Atas Pendidikan
Menurut Katarina Tomasevski (2001) ada 4 indikator terpenuhinya hak atas pendidikan yaitu, Ketersediaan (availability), Keterjangkauan (Accessibility), Keberterimaan (Acceptability) dan Kebersesuaian (Adaptability). Seluruh variabel tersebut wajib terpenuhi untuk dapat dikatakan suatu negara telah menjamin dan melindungi hak warga negaranya atas pendidikan. Keempat hal di atas dapat dipahami sebagai berikut:
Pertama, availability. Aspek ketersediaan ini mengacu pada 3 (tiga) macam kewajiban pemerintah yaitu pemerintah mengizinkan pendirian sekolah-sekolah sebagai bentuk kebebasan pendidikan dan sebagai bentuk hak sipil dan politik dalam kebebasan; pendidikan sebagai hak sosial dan budaya mensyaratkan pemerintah untuk menjamin pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi anak usia sekolah; dan pendidikan sebagai hak budaya disyaratkan dihargainya keragaman, khususnya hak-hak bagi kelompok minoritas.
Kedua, accessibility. Aspek keterjangkauan ini memiliki karakteristik umum berupa penyelenggaraan pendidikan yang tidak diskriminasi, yaitu bahwa pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang terutama kepada kelompok yang paling rentan, secara hukum dan fakta; penyelenggaraan pendidikan menjamin keterjangkauan fisik dalam artian bahwa secara fisik pendidikan harus aman untuk dijangkau; serta keterjangkauan ekonomi, yaitu pendidikan harus murah bahkan gratis sehingga terjangkau oleh setiap orang.
Ketiga, acceptability. Aspek keberterimaan ini mensyaratkan sistem pendidikan harus dapat diterima oleh setiap peserta didik. Keberterimaan merupakan kewajiban untuk menetapkan standar minimum pendidikan yang dapat diterima dengan baik dan menghindari kesulitan peserta didik untuk mencerna pendidikan. Contoh konkret atas aspek acceptability ini misalnya bahasa pengantar yang digunakan dapat dimengerti, materi pembelajaran dapat diterima, metode pengajaran yang dapat diikuti.
Keempat, adaptability. Aspek kebersesuaian ini mensyaratkan bahwa pendidikan harus sangat fleksibel sehingga dapat beradaptasi dengan dinamika dan perkembangan peserta didik dan masyarakat yang mempunyai keragaman sosial dan budaya. Penyelenggaraan pendidikan harus mampu beradaptasi dengan budaya dan konteks lokal dalam proses pembelajarannya dan dalam menyusun kurikulum. Kurikulum, bahan-bahan ajar, peraktek pengajaran dan kegiatan pemberian ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Sebuah Titik Singgung
Berdasarkan beberapa indikator jaminan pemenuhan hak atas pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, tampak bahwa semangat penerapan PPN terhadap jasa pendidikan bertolak belakang dengan ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accesibility). Tereduksinya kedua aspek tersebut akan mengakibatkan tidak terpenuhinya hak atas pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Pendidikan yang semula dikualifikasikan sebagai hak sosial dan budaya yang mensyaratkan pemerintah untuk menjamin pendidikan secara wajib dan tanpa biaya (non-profit) akan bergeser kepada semangat komersialisasi dan privatisasi yang sangat bertentangan dengan amanat konstitusi.
Efek ini tidak bisa dihindari ketika penyelenggaraan pendidikan berkelindan dengan semangat mencari keuntungan (profit oriented) yang salah satu mekanismenya adalah dengan menarik PPN.
Akibatnya, akses terhadap pendidikan adalah milik mereka yang mempunyai ekonomi di atas rata-rata. Terhadap mereka yang secara ekonomi berada di bawah rata-rata dan dalam proses pendidikan, bukan tidak mungkin akan putus sekolah.
Penulis : Marisun Fahmi S, SH, MH (Alumnus Universitas Islam Indonesia)